Skip to main content

Download Ringkasan Pendidikan Agama Islam Kelas X Semester 2

A.     SURAH ALI IMRAN, 3: 159 TENTANG MUSYAWARAH
1.     Bacaan dan Artinya


“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran, 3: 159)

2.    Kesimpulan dan Penjelasan
Kesimpulan isi atau kandungan Surah Ali Imran, 3: 159 tersebut adalah merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang amat besar, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau tidak bersikap dan berperilaku keras serta berhati kasar. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang yang berhati lembut, dan berperilaku baik yang diridai Allah SWT serta mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dalam pergaulan Rasulullah SAW senantiasa memberi maaf kepada orang yang telah berbuat salah, khususnya terhadap para sahabatnya yang telah melakukan pelanggaran. Dalam Perang Uhud Rasulullah SAW juga memohonkan ampun kepada Allah SWT terhadap kesalahan mereka dan bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan. Untuk melaksanakan tekadnya, khususnya hasil musyawarah Rasulullah SAW selalu bertawakal pada Allah SWT.
Karena budinya yang luhur, dan akhlaknya yang mulia seperti tersebut Rasulullah SAW memperoleh simpati dalam pergaulan, khususnya disenangi dan didekati oleh para sahabatnya serta dicintai oleh Allah SWT.
Perlu pula diketahui bahwa salah satu yang menjadi penekanan pokok dalam Surah Ali Imran, 3: 159 itu adalah perintah untuk melakukan musyawarah. Perintah ini bukan hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi kepada seluruh pengikutnya yakni umat Islam, di mana pun mereka berada.
Kata musyawarah berasal dari akar kata Syawara yang artinya, secara kebahasaan ialah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud, dengan musyawarah itu ialah berunding antara seseorang dengan orang lain, antara satu golongan dan golongan lain, mengenai suatu masalah atau beberapa masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan atau kesepakatan bersama.
Mengacu kepada Al-Qur’an Surah Ali Imran, 3: 159, maka di dalam pergaulan hidup bermasyarakat, khususnya dalam musyawarah, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip umum berikut ini:
1.    Melandasi musyawarah dengan hati yang bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
2.    Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik, seperti: tidak berperilaku keras, dengan tutur kata yang sopan, saling menghormati, dan saling menghargai, serta melakukan usaha-usaha agar hasil musyawarah itu berguna.
3.    Para peserta musyawarah hendaknya berlapang dada, bersedia memberi maaf apabila dalam musyawarah itu terjadi perbedaan-perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas kesalahan para peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4.    Hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah SWT. Orang-orang yang bertawakal terntu akan berusaha sekuat tenaga, diiringi dengan doa kepada Allah Azza Wajalla, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT itu menyukai orang-orang yang bertawakal.
B.     SURAH ASY-SYURA, 42: 38 TENTANG ANJURAN BERMUSYAWARAH
1.     Bacaan dan Artinya
            
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Asy-Syura, 42: 38)

2.    Kesimpulan
Kesimpulan dari isi atau kandungan Surah Asy-Syura, 42: 38 tersebut adalah menjelaskan sifat-sifat orang beriman yang akan memasuki surga yaitu:
-    Senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya.
-    Disiplin dalam mengerjakan salat yang hukumnya wajib.
-    Selalu bermusyawarah, dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan (urusan dunia).
-    Menafkahkan sebagian rezeki karunia Allah SWT, untuk hal-hal yang diridai-Nya.

Melaksanakan perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya atau bertakwa kepada-Nya hukumnya adalah fardu ‘ain.
Muslim/Muslimah yang senantiasa bertakwa pada Allah SWT, disiplin dalam salat lima waktu, selalu bermusyawarah dalam urusan-urusan yang perlu dimusyawarahkan dan senantiasa berinfak di jalan Allah SWT, tentu selama hidupnya akan memperoleh rida dan rahmat dari Allah SWT, bahagia duniawi maupun ukhrawi.



































IMAN KEPADA MALAIKAT

A.     PENGERTIAN IMAN KEPADA MALAIKAT
Iman kepada malaikat artinya percaya bahwa malaikat adalah makhluk gaib, yang asal kejadiannya dari nur (cahaya). Mereka memiliki akal dan tidak mempunyai nafsu. Karena itu, mereka senantiasa patuh kepada Allah SWT serta tidak pernah mendurhakai-Nya.
Hukum beriman kepada adanya malaikat adalah fardu ‘ain. Seorang yang mengaku beragama Islam (Muslim/Muslimah) jika tidak percaya kepada adanya malaikat, dapat dianggap murtad (keluar dari agama Islam). Perintah untuk beriman kepada malaikat terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an, maupun dalam Hadis Rasulullah SAW.
Jumlah para malaikat tidak terhingga banyaknya dan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara (malaikat) Tuhanmu, melainkan Dia sendiri.”  (Q.S. Al-Muddassir, 74: 31) Di antara malaikat yang banyak itu ada sepuluh malaikat yang harus diketahui nama-namanya berikut tugasnya masing-masing.

B. TANDA-TANDA BERIMAN KEPADA MALAIKAT
Tanda-tanda beriman kepada malaikat ada yang berupa sikap mental yakni pikiran dan perasaan serta adapula yang berupa sikap lahir yaitu ucapan dan perbuatan.
Tanda-tanda beriman yang berupa sikap mental itu bersifat abstrak (gaib), tidak dapat diketahui dengan panca indra dan yang mengetahuinya hanyalah individu itu sendiri dan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Mengertahui segala yang gaib dan yang nyata (syahadah).
Mengacu kepada ajaran-ajaran Allah SWT yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis, tanda-tanda beriman kepada malaikat yang berupa sikap mental itu, seperti:
-    Mempercayai atau meyakini dalam hati bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang lebih dulu diciptakan Allah SWT daripada manusia dan yang asal kejadiannya dari nur atau cahaya.

-    Mempercayai atau meyakini dalam hati bahwa para malaikat bersifat, seperti bertubuh halus (gaib) tidak dapat dilihat oleh manusia biasa; senantiasa mentaati perintah Allah SWT dan tidak pernah mendurhakai-Nya; tidak berjenis laki-laki ataupun wanita; tidak memiliki hawa nafsu dan tidak beranak atau diperanakkan; tidak membutuhkan makanan dan segala apa yang berupa materi; para malaikat tidak akan mengalami kematian sebelum datangnya Hari Kiamat; para malaikat hanya bisa mengerjakan apa yang di perintah Allah SWT, tidak memiliki inisiatif untuk berbuat lain; dan para malaikat itu diciptakan Allah untuk tugas-tugas tertentu.

-    Mempercayai atau meyakini dalam hati bahwa tugas para malaikat itu bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan alam rohani dan ada pula yang berhubungan dengan alam dunia, khususnya umat manusia.
Para malaikat yang tugasnya berhubungan dengan alam dunia atau umat manusia, seperti:
1.    Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu (firman atau petunjuk Allah SWT) pada para nabi atau rasul, dari semenjak rasul pertama Nabi Adam AS sampai dengan rasul terakhir Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian tugas Malaikat Jibril berakhir, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir.
2.    Malaikat Mikail bertugas membagi rezeki kepada seluruh makhluk hidup.
3.    Malaikat Izrail bertugas mencabut nyawa seluruh makhluk hidup jika sudah tiba saatnya.
4.    Malaikat Israfil bertugas sebagai peniup sangkakala, jika Hari Kiamat telah tiba saatnya.
5.    Malaikat Raqib bertugas mencatat segala sikap, tutur kata, dan perbuatan manusia yang baik.
6.    Malaikat Atid bertugas mencatat segala sikap, tutur kata, dan perbuatan menusia yang jahat.
7.    Malaikat Munkar bertugas memberikan pertanyaan-pertanyaan pada setiap manusia yang hidup di alam kubur.
8.    Malaikat Nakir bertugas sama dengan Malaikat Munkar.
9.    Malaikat Malik bertugas sebagai penjaga neraka.
10.    Malaikat Ridwan bertugas sebagai penjaga surga.

-    Mempercayai dan menyadari bahwa orang-orang beriman dan beramal saleh itu kedudukannya lebih tinggi daripada para malaikat. Hal ini disebabkan antara lain karena ilmu manusia lebih tinggi daripada para malaikat. Ini terbukti tatkala Allah SWT menyuruh malaikat untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang benda-benda tertentu, ternyata malaikat tidak dapat menjawabnya, tetapi tatkala suruhan itu ditujukan kepada Adam AS (manusia), ternyata Adam AS dapat menjawabnya dengan benar dan tepat. Selain itu Allah SWT menyuruh malaikat untuk memberi hormat kepada Adam AS.

-    Pernyataan lisan, bahwa ia percaya kepada adanya para malaikat dan sifat-sifatnya sesuai dengan penjelasan Al-Qur’an dan Hadis.

-    Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan beriman kepada malaikat. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada malaikat akan senantiasa bertakwa, yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya.


C. CONTOH-CONTOH PERILAKU BERIMAN KEPADA MALAIKAT
Muslim/Muslimah yang memiliki tanda-tanda beriman kepada malaikat, yang sudah dikemukakan di atas, tentu akan pula beriman kepada rukun iman lainnya.
Mengenai perilaku orang beriman kepada keberadaan rukun iman itu telah banyak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Hadis, misalnya:
-    Selalu berkata yang baik-baik saja dan kalau tidak bisa lebih baik diam.
-    Perilakunya senantiasa termasuk akhlak mulia yang mendatangkan manfaat bagi pelakunya dan orang lain.
-    Perilaku orang beriman dengan orang beriman lainnya akan saling memabntu dan saling menguatkan dalam hal-hal positif yang diridai Allah SWT.
-    Perilaku orang beriman itu kalau berada pada situasi yang menyenangkan (memperoleh nikmat) ia akan bersyukur yakni berterimakasih pada Allah SWT dengan cara memelihara dan meningkatkan takwa. Sedangkan kalau berada pada situasi yang menyusahkan (mendapat musibah) ia akan bersabar yaitu tidak akan gelisah dan keluh kesah dan tetap bertakwa kepada Allah Azza Wajalla.
-    Selain itu seorang yang beriman pada malaikat akan memuliakan malaikat dan merasa malu kalau berbuat dosa, karena ia yakin perbuatan dosanya selalu disaksikan oleh malaikat.


D.    PENERAPAN IMAN PADA MALAIKAT DALAM SIKAP DAN PERILAKU
Telah dikemukakan di atas tentang beberapa contoh sikap perilaku orang beriman kepada malaikat. Sudah tentu beberapa contoh sikap perilaku tersebut harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap Muslim/Muslimah.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa sikap perilaku orang beriman kepada malaikat, yang seharusnya diamalkan oleh setiap Muslim dan Muslimah.
-    Gemar melaksanakan salat berjamaah. Hal ini disebabkan adanya keyakinan, bahwa para malaikat selalu menghadiri salat berjamaah.
-    Gemar berperilaku dermawan, yakni membelanjakan hartanya untuk kebaikan, seperti menyantuni anak-anak yatim, terlantar, dan memberi bantuan harta kepada para fakir miskin.
-    Gemar berperilaku menuntut ilmu, baik ilmu pengetahuan umum, maupun ilmu pengetahuan tentang Islam. Kemudian mengajarkannya kepada orang lain.
-    Gemar membaca Al-Qur’an. Tatkala Al-Qur’an dibacakan, malaikat akan hadir dan mendengarkan.
















PERILAKU TERPUJI DAN TERCELA

A.     PERILAKU TERPUJI
1.     Adab Berpakaian dan Berhias
          •           

Artinya: “Hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (selalu takwa pada Allah) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raaf, 7: 26)

Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa fungsi berpakaian itu adalah:
-    untuk menutupi aurat.
-    untuk memperindah jasmani manusia.

Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh dibuka dan dilihat orang lain. Aurat laki-laki dewasa ialah antara pusat dan lutut, sedangkan aurat perempuan ialah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.
Dalam ayat Al-Qur’an Q.S. Al-Ahzab, 33: 59 dijelaskan bahwa Allah SWT menyuruh wanita-wanita beriman agar berpakaian, dengan pakaian yang dapat menutup seluruh auratnya. Manfaat pakaian itu selain untuk menunjukkan identitas seorang Mukmin, juga agar terhindar dari gangguan yang tidak diinginkan.
Hadis-hadis Nabi SAW banyak menjelaskan tata krama berhias diri, yaitu:
-    Anjuran untuk memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, dan merapikan jenggot (jika berjenggot).
-    Anjuran untuk berharum-haruman, dengan wewangian yang menyenangkan hati melegakan dada, menyegarkan jiwa, serta membangkitkan tenaga, dan gairah kerja.
-    Larangan mencukur botak sebagian kepala, dan sebagian lainnya tidak dicukur/dibiarkan tumbuh.
-    Larangan berhias diri dengan mengubah apa yang telah diciptakan Allah SWT misalnya mengeriting rambut, memakai cemara (menyambung rambut), mencukur alis mata, membuat tahi lalat palsu, dan larangan bertato.
-    Laki-laki dilarang berhias diri sehingga menyerupai perempuan dan begitu pula sebaliknya.


2.    Adab Dalam Perjalanan
a.    Tata Krama di Jalan Raya
                               

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri (pimpinan-pimpinan) di antara kamu.” (Q.S. An-Nisaa’, 4: 59)

Mengacu kepada ayat Al-Qur’an tersebut setiap Muslim/Muslimah hendaknya menaati ajaran-ajaran Allah SWT dan rasul-Nya (ajaran Islam) dan undang-undang serta peraturan pemerintah di mana pun dia berada seperti misalnya ketika berada dalam perjalanan.
Seseorang dianggap bertata krama dalam perjalanan, apabila tatkala ia menggunakan jalan umum atau jalan raya, ia menaati undang-undang dan peraturan lalu lintas yang telah ditetapkan pemerintah. Misalnya:
-    Pejalan kaki hendaknya:
•     berjalan di sebelah kiri jalan dan di trotoar
•     menyeberang di jembatan penyeberangan atau di zebra cross
•    menunggu lampu hijau bagi penyeberang atau saat yang aman untuk menyeberang
•    menjaga sopan santun dan tidak melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum

-    Pengemudi kendaraan bermotor hendaknya:
•    memerhatikan dan menaati rambu-rambu lalu lintas
•    melengkapi kelengkapan berkendaraan, seperti SIM, STNK, dan helm (bagi pengendara sepeda motor)
•    mengemudi dalam batas kecepatan yang sesuai dengan keadaan jalan raya
•    tidak membuang sampah sembarangan

b.    Tata Krama bagi Para Penumpang Kendaraan Umum
Bagi penumpang kendaraan umum, seperti bis dan kereta api hendaknya memerhatikan dan melaksanakan tata krama, antara lain:
-    Bermanis muka dan bertutur kata baik, terhadap para penumpang lainnya.
-    Seorang penumpang kendaraan umum hendaknya bersikap hormat kepada penumpang lainnya yang lebih tua, dan saying kepada penumpang lainnya yang lebih muda.
-    Jika diperlukan sesame penumpang hendaknya saling tolong-menolong dalam kebaikan.
-    Jangan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengganggu dan merugikan para penumpang lain, misalnya: merokok, bertengkar sesama penumpang, dan lain-lain.


3.    Adab Bertamu dan Menerima Tamu
a.    Bertamu
Bertamu adalah berkunjung ke tempat kediaman orang lain. Kunjungan ini biasanya karena adanya suatu keperluan. Bertamu dengan maksud yang baik dan dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT serta untuk memperoleh rida-Nya dan rahmat-Nya termasuk ke dalam silaturahmi. Silaturahmi dianjurkan oleh agama Islam.
Menurut ajaran Islam orang yang bertamu itu harus memerhatikan dan melaksanakan tata krama, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun tata krama dalam bertamu itu adalah:
-    Mempunyai maksud baik yang diridai Allah SWT
-    Menggunakan pakaian yang dapat menutup aurat, sopan, dan berpenampilan islami.
-    Memerhatikan keadaan orang yang ditamui, usahakan, bertamu itu ketika orang ditamui dalam keadaan senggang waktu.
-    Hendaknya bersikat dan bertutur kata yang sopan, sehingga yang dikunjungi merasa senang serta menaruh hormat pada tamunya.
-    Dalam bertamu, kalau memang harus menginap, usahakan jangan sampai lebih dari tiga hari. Karena hal ini dapat mengganggu atau menyulitkan tuan rumah.

b.    Menerima Tamu
Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang pernah bertamu dan pernah pula menerima tamu. Saat menerima tamu hendaknya sesuai dengan tata krama yang telah diajarkan Allah SWT (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Hadis).
Tuan rumah (yang menerima tamu) hendaknya berusaha untuk menjaga keselamatan tamunya dan juga berusaha agar tamunya itu merasa senang selama ia bertamu.
Cara-cara menghormati tamu itu adalah sebagai berikut:
-    Tuan rumah hendaknya berpakaian sopan dan menutup aurat. Tamu hendaknya diterima dengan rasa syukur dan rasa senang.
-    Menerima tamu hendaknya dengan sikap serta perilaku yang baik, dengan wajah yang berseri, dengan tutur kata yang sopan, dan berusaha agar sikap serta tutur katanya tidak menyinggung perasaan tamunya.
-    Jika tamu yang dating itu usianya lebih tua, hendaknya menghormatinya jika sebaya hendaknya menghargainya jika lebih muda hendaknya menyayanginya.
-    Tamu hendaknya dijamu, paling tidak disuguhi minuman atau makanan ringan, kalau bertamunya hanya sebentar. Apalagi, kalau tamunya itu menginap, hendaknya tuan rumah menyediakan keperluan tamunya selama ia menginap.


B. PERILAKU TERCELA
1.     Hasud
Hasud atau dengki berbeda pengertiannya dengan iri hati. Iri hati artinya merasa ingin menguasai sesuatu yang dimiliki orang lain karena dirinya belum memiliki dan tidak mau ketinggalan. Iri hati tidak diikuti dengan perbuatan mencelakakan orang lain tersebut. Iri hati ada yang termasuk sifat tercela dan ada yang tidak.
Berdasarkan hadis riwayat Bukhari-Muslim ada dua macam iri hati yang dibolehkan Islam, yaitu iri hati kepada orang yang dianugerahi harta yang banyak kemudian harta itu digunakannya untuk hal-hal yang diridai Allah dan iri hati kepada orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah SWT, kemudian ilmu itu diamalkannya serta diajarkan pada orang lain.
Hasud atau dengki ialah rasa atau sikap tidak senang terhadap kerahmatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain tersebut.
Kerugian atau bahaya yang ditimbulkan oleh sifat hasud antara lain:


.................................


Materi selanjutnya bisa download di sini.

Comments